SALATIGA|SEMARJOGLO.COM – Aktivitas tambang galian C tanpa izin di Kota Salatiga semakin mengkhawatirkan. Meskipun para penambang mengklaim memiliki izin, hasil investigasi menunjukkan bahwa 99% dari tambang tersebut belum terdaftar di Minerba One Data Indonesia (MODI), aplikasi yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara untuk memantau perusahaan mineral dan batubara.
Salah satu tambang ilegal yang mendapat sorotan adalah yang terletak di Batas Kota Blotongan, Salatiga. Tambang ini tidak memiliki izin resmi dan tampaknya mengabaikan dampak lingkungan yang diakibatkannya. Meskipun demikian, aktivitas tambang di lokasi tersebut seolah-olah tidak tersentuh oleh hukum.
Pada Jumat (23/8/2024), tim investigasi dari media mendapati bahwa tambang galian C di Blotongan masih beroperasi. Alat berat seperti excavator dan truk dam terlihat aktif mengangkut tanah, menambah kekhawatiran warga dan aktivis lingkungan. Tim investigasi juga telah mengidentifikasi nama penambang dan lokasi penjualan tanah hasil tambang tersebut.
Pertanyaan besar muncul terkait legalitas operasi tambang ini. Jika tidak memiliki izin, penggunaan excavator hampir pasti menggunakan bahan bakar minyak (BBM) ilegal, yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan. Warga sekitar mengeluhkan bahwa tambang ilegal ini sangat mengganggu, terutama karena debu yang beterbangan dan membahayakan para pengendara.
Ketika dimintai konfirmasi, salah seorang yang mengaku mandor bernama Dikin yang berada di lokasi tambang menyatakan bahwa yang bertanggung jawab kegiatan ini bernama GR diketahui yang bersangkutan berdinas di Satpol PP Kota Salatiga.
Sementara Ketua Sapu Jagad Jawa Tengah Susilo Haryadi menegaskan bahwa aktivitas penambangan tanpa izin (PETI) jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut Pasal 158 UU tersebut, siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin bisa dipidana dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Bahkan, pemilik izin usaha pertambangan (IUP) yang masih dalam tahap eksplorasi namun melakukan kegiatan produksi juga dapat dikenai pidana berdasarkan Pasal 160.
Hingga berita ini diterbitkan, beberapa pihak terkait masih belum dapat dikonfirmasi untuk memberikan keterangan lebih lanjut guna menjaga keseimbangan berita.(tim)